Kades “VCS” Tidak Mau Mundur, Bagaimana Kewajibannya Dalam UU

Kades “VCS” Tidak Mau Mundur, Bagaimana Kewajibannya Dalam UU

Spread the love

Kaur (Bengkulu) – Angkatberita.com_, dikutib dari sumber berita media online Beritaterkini.com (05/02/23), Terkait pengunduran diri beliau sebagai kades yang di minta masyarakatnya itu, (SN) selaku kepala desa dan pemeran utama wanita dalam Video Call Seks (VCS) masih bersikukuh ingin melanjutkan sisa masa jabatan sebagai kepala desa, karena beliau menegaskan kembali, “itu bukan unsur kesengajaan, dan beliau berharap kepada masyarakat nya, agar memaafkan ke salahan nya terkhusus masyarakat desa SM,” Ungkap Kades.

Masih sumber yang sama, Namun Masyarakat masih ingin melanjutkan gugatan mereka, agar kepala desa mundur dari jabatannya, “dalam waktu dekat ini masyarakat akan mengadakan rapat kembali, dan melengkapi berkas-berkas pengaduan, untuk di tujukan ke kecamatan dan inspektorat, ” ujar salah satu warga SM inisial (PW) kepada wartawan.

Polimik Kades “VCS” dengan inisial (SN) terus bergulir ditengah-tengah warga desa SM, lebih-lebih Kepala Desa inisial (SN) tidak mau mengundurkan diri dari jabatannya.

Hak dan kewajiban serta larangan yang harus betul-betul diperhatikan oleh kepala desa dalam melaksanakan tugasnya.

Pengangkatan dan pemberhentian kepala desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 82/2015”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 66/2017”).

Sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Permendari Nomor 66 Tahun 2017, menjelaskan bahwa Pemberhentian kepala desa dapat terjadi dengan berbagai alasan, yaitu:
– meninggal dunia;
– permintaan sendiri; atau
– diberhentikan.

Selanjutnya pada Pasal 8 ayat (2) huruf d, menjelaskan bahwa Kepala Desa diberhentikan karena melanggar larangan sebagai kepala desa.

Dimana larangan yang berlaku bagi kepala desa merujuk pada Pasal 29 huruf e UU Desa, antara lain: melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa.

Sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 Permendagri Nomor 82 Tahun 2015, kepala desa juga dapat diberhentikan sementara oleh bupati/walikota, karena melanggar larangan sebagai kepala desa.

Merujuk Pasal 8 ayat (3) jo Pasal 8 ayat (1) Permendagri Nomor 66 Tahun 2017, maka Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain jika kepala desa berhenti. Laporan tersebut memuat materi kasus yang dialami oleh kepala desa yang bersangkutan dan kemudian bupati/walikota melakukan kajian untuk proses selanjutnya atas laporan tersebut sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) dan (5) Permendag i Nomor 66 Tahun 2017.

Lebih lanjut pasal 10 Permendagri Nomor 82 Tahun 2015, pengesahan pemberhentian kepala desa ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota yang disampaikan kepada kepala desa yang bersangkutan dan para pejabat terkait pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Jika ingin dibangun dalam hukum pidana, kepala desa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Alasan pemberhentian lain, yaitu kepala desa tidak melaksanakan kewajibannya. Seperti yang masih hangat dibeberapa media bahkan menjadi perbincangan dilapisan masyarakat yang tren istilah “lato-lato” Kades inisial (SN) “VCS”. Karena dapat dipandang sebagai perbuatan yang tidak memelihara ketenteraman dan ketertiban serta membina nilai sosial budaya masyarakat. Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan kewajibannya untuk menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban ini diatur dalam Pasal 26 ayat (4) huruf c, d, dan m Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”), dimana dijelaskan dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berkewajiban, di antaranya:

– memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa;
– menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; dan
– membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa;

Sekali lagi, Terlepas sengaja atau tidaknya, Jika melihat kewajiban Kepala Desa di atas, perbuatan Kepala Desa “VCS” yang menimbulkan ketidaknyamanan di desanya bahkan berdampak pada Pemerintah Daerah yang jelas-jelas bertentangan dengan kewajibannya.

Oleh karena itu, langkah yang dilakukan warganya dan BPD merupakan langkah yang tepat agar kepastian Polimik itu terjawab. Dan, tidak hanya di situ, ketentraman dan kenyamanan di desa dapat terpelihara secepat mungkin dengan baik kembali.

(Yayan)